Selasa, 30 Desember 2008

Pers, Opini publik dan Pembentukan Kebijakan Publik


                              Pers, Opini publik dan Pembentukan Kebijakan Publik
Oleh
Assyari Abdullah
Ketua Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fak. Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau





Pembicaraan tentang opini publik tidak dapat dilepaskan dari konsep kebebasan pers. Adapun kebebasan pers dalam suatu masyarakat negara merupakan dimensi hak azasi manusia bagi warga. Ini memiliki dua wajah, di satu sisi terdiri atas pers bebas, dan sisi lainnya kebebasan membentuk pendapat dalam kaitan kehidupan di ruang publik (lihat Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia pasal 19 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik pasal 19). Kebebasan pers diwujudkan dengan tersedianya informasi secara bebas dan benar bagi warga masyarakat. Kegiatan ini menjadi penyangga bagi terbangun dan terpeliharanya peradaban modern kehidupan manusia. Alasan normatif tentang signifikansi kebebasan pers dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya berkaitan pada kehidupan warga masyarakat di ruang publik. Disini kebebasan pers dapat diartikan di satu pihak sebagai hak warga negara untuk mengetahui (right to know) masalah-masalah publik, dan di pihak lainnya hak warga dalam mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (right to expression). Karenanya kebebasan pers dilihat bukan semata-mata menyangkut keberadaan media jurnalisme yang bebas, tetapi mencakup suatu mata rantai yang tidak boleh terputus dalam proses demokrasi. Dengan demikan dasar pikiran mengapa warga harus dijamin haknya untuk mengetahui masalah publik, dan mengapa pula warga harus dijamin haknya untuk menyatakan pendapat, perlu ditempatkan dalam prinsip demokrasi yang bertolak dari hak azasi manusia (Nickel, 1987). Mata rantai kerangka pemikiran itu dimulai dari proses untuk memiliki pikiran dan pendapat tentang masalah publik. Dari sini warga masyarakat perlu mendapat informasi yang bebas dan benar mengenai masalah tersebut. Masalah publik (public issue) dapat diartikan secara sederhana sebagai fakta/kejadian dalam kehidupan masyarakat yang bersentuhan dengan institusi di ruang publik, baik secara politik, ekonomi maupun kultural. Informasi yang bebas dan benar mengandung pengertian epistemologi mengenai prinsip kebebasan untuk memperolehnya, dan kebenaran yang berasal kenyataan empiris, bukan “kebenaran” ideologis. Sedangkan pikiran dan pendapat yang terbentuk sebagai respon terhadap masalah publik ini menjadi dasar dalam kehidupan di ruang publik. Dalam pada itu tidak semua fakta yang terdapat dalam masyarakat akan relevan sebagai dasar pembentukan pendapat publik (public opinion). Karenanya dalam operasi media jurnalisme, perlu didefinisikan secara jelas kriteria tentang fakta publik, untuk dibedakan dengan fakta jenis lainnya. Sebagai ilustrasi, fakta personal dari bintang sinetron sering dimaknai sebagai fakta publik, hanya karena jurnalis tidak dapat membedakan antara selebritis dengan public figure sebagai person yang keputusan dan perannya berkaitan dengan masalah publik. Karenanya perlu dipahami bahwa hanya fakta publik yang relevan sebagai dasar pembentukan pendapat publik. Pendapat publik dapat diartikan sebagai respon pro dan kontra warga masyarakat terhadap masalah publik yang bersifat aktual. Dari posisi yang bersifat pro – kontra ini maka suatu isu dipandang bersifat kontroversial. Karenanya warga masyarakat yang terbiasa dalam keseragaman tidak siap untuk menghadapi kontroversi. Padahal kontroversi dalam kehidupan publik inilah sebagai dasar bagi terbentuknya secara rasional pendapat publik

kehidupan publik, diikuti dengan proses negosiasi sosial sampai akhirnya tiba pada titik konsensus sosial. Proses ini diharapkan berlangsung dalam dialog sosial yang bersifat sosiologis, bukan atas dasar pemaksaan (coercion) oleh kekuasaan, sehingga konsensus sosial dapat diterima secara rasional. Disinilah media jurnalisme mengambil tempat sebagai zona netral dalam proses interaksi sosial sehingga tercapai konsensus sosial. Konsensus sosial pada dasarnya penerimaan atas dasas akal sehat (common sense) dan rasionalitas atas posisi suatu isu publik. Inilah kemudian yang menjadi dasar bagi kebijakan publik/negara (public policy), baik berupa keputusan maupun tindakan-tindakan pejabat publik dalam melayani warga masyarakat, yang diterima atas basis akal sehat dan rasionalitas pula (Cobb dan Elder, 1981). Kebebasan pers dapat diimplementasikan mencakup rangkaian proses dari kehidupan warga masyarakat yang dikenal sebagai fakta publik (public fact), kemudian menjadi masalah publik (public issue) yang disiarkan sebagai informasi jurnalisme oleh media pers, untuk menjadi sumber atau landasan dalam proses pembentukan pendapat publik, lebih jauh sebagai dasar dari kebijakan publik dalam memberikan pelayanan publik (public service). Muara dari seluruh proses ini adalah pelayanan dan akuntabilitas publik (public accountability) sebagai ciri dari birokrasi publik (pemerintahan) yang menjadi dasar kehidupan negara (polity) dalam norma demokrasi (Zukin, 1981). ( 2 ) Opini publik selamanya bersifat laten. Hanya dengan metode jajak pendapat (public opinion polling) suatu opini dalam masyarakat akan menjadi manifes. Jajak pendapat khalayak dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak terhadap masalah tertentu, yang diwujudkan secara eksplisit dalam pendapatnya. Pengukuran pendapat khalayak biasanya dilaksanakan oleh lembaga survai yang memang secara khusus mendeteksi secara berkala pendapat khalayak, atau oleh suratkabar yang ingin memberitakan konstelasi masyarakat pada masa tertentu dalam menghadapi masalah tertentu. Biasanya yang menjadi perhatian dalam membicarakan hal ini, pertama adalah apa isu yang dihadapkan oleh pembuat polling kepada warga masyarakat, dan kedua bagaimana sikap atau orientasi khalayak terhadap isu tersebut. Isu adalah rumusan atas masalah aktual dan bersifat kontroversial yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Pilihan yang dilakukan oleh pelaksana jajak pendapat atas suatu isu, sangat bertalian dengan kehidupan masyarakat atau setidaknya masalah tersebut diasumsikan dialami atau dipikirkan warga masyarakat. Sebab tanpa relevansi dengan kehidupannya, pendapat khalayak bukan sebagai fakta sosial. Selain itu pula warga masyarakat tentunya tidak akan antusias untuk memberikan pendapatnya. Karena isu yang dihadapkan adalah masalah yang bersifat kontroversial, maka hasil jajak pendapat selamanya bermuara kepada sikap atau orientasi bersifat pro, kontra atau netral terhadap isu spesifik. Pro-kontra memiliki makna yang sama pentingnya. Artinya bukan hanya posisi pro terhadap suatu isu yang penting, sebab tanpa adanya kontra suatu pro tidak memiliki makna. Begitu pula Dari sini opini publik perlu dibedakan dengan persepsi dan penilaian publik terhadap standar pelayanan publik yang merupakan pendapat awam (general opinion). Pendapat awam pada dasarnya tidak bersifat kontroversi, sebab sudah mengandung kebenaran atas dasar akal sehat. Lebih jauh boleh dilihat arti penting hasil suatu jajak pendapat. Soalnya, setelah mengetahui komposisi berdasarkan sikap pro-kontra khalayak terhadap isu tertentu, lantas apa? Untuk itu dapat dipertanyakan, siapa sebenarnya yang berkepentingan atas data suatu jajak pendapat? Lembaga survai atau polling tentu saja tidak boleh memasukkan kepentingan subyektif instansinya dalam penyelenggaraan jajak pendapat, dan karenanya pula tidak boleh suatu data mengandung kepentingan subyektif. Ini kaidah moral yang
menjadi standar profesional setiap peneliti. Data mungkin saja digunakan oleh pihak lain, misalnya untuk tujuan advokasi, atau kampanye suatu standar kehidupan. Tetapi pelaksana polling tidak pernah berpretensi untuk menggunakan data pendapat khalayak untuk membentuk lagi pendapat khalayak. Lalu bagi khalayak sendiri, setelah menyadari sikap dan pendapat sesama warga terhadap isu spesifik, apakah ada nilai pragmatis baginya? Konstelasi data mungkin saja dapat mempengaruhi sikapnya terhadap masalah aktual yang masih berlangsung. Untuk polling yang berkaitan dengan proses pemilihan (electoral process) di Amerika Serikat, memang ada anggapan tentang efek “bandwagon”. Disebabkan melihat angka yang tinggi, pada saat pemilihan khalayak akan memilih kandidat yang diperkirakannya menang.. Tetapi berbeda dengan jajak pendapat atas isu sosial. Setiap jajak pendapat semacam ini, selamanya bersifat “snapshot”. Kalaupun dilakukan serial jajak pendapat, perubahan konstelasi sikap yang terjadi, sesungguhnya berasal dari faktor-faktor sosial yang mempengaruhi khalayak. Belum pernah ada pembuktian empiris bahwa perubahan sikap khalayak pada jajak pendapat yang bersifat “time series” disebabkan oleh pengaruh angka jajak pendapat sebelumnya. Karenanya kemanfaatan pragmatis nilai jajak pendapat mengenai suatu isu bukan untuk diri khalayak. Dari sisi khalayak, kegiatan dan data jajak pendapat dapat dilihat sebagai bagian dalam proses mengaktualisasikan sikap dan orientasi sosialnya. Biasanya pihak yang berkepentingan atas suatu isu adalah pihak yang kegiatan profesionalnya terkait secara langsung dalam masalah aktual yang dijadikan isu. Data suatu jajak pendapat biasanya dijadikan dasar evaluasi dan prediksi. Data pendapat tentang isu yang mendasari keputusan dalam kebijakan seorang pejabat publik tentunya menjadi perhatian serius bagi sang tokoh dan para agen “public relations”nya agar dapat memperbaiki kinerjanya di tengah masyarakat. Pada dasarnya politisi dalam berbagai strata yang akan mengambil kemanfaatan atas data jajak pendapat yang dilaksanakan oleh lembaga survai ataupun suratkabar. Data semacam ini dianggap sangat penting, melengkapi upaya mencari tahu pendapat khalayak yang dilakukan oleh kantor politisi sendiri. Upaya ini antara lain “sounding” kalangan masyarakat dalam strata yang diperlukan misalnya melalui percakapan informal dengan supir taksi, pelayan restoran, guru, kaum profesional dan lainnya, atau pertemuan dengan pemimpin-pemimpin lokal, atau analisis surat-surat pembaca di suratkabar, dan sebagainya (Nimmo, 1989). ( 3 ) Keberadaan jajak pendapat sangat berkaitan dengan dua kondisi. Pertama, apakah sistem politik menyebabkan atau bahkan “memaksa” politisi dan pejabat publik harus mendengar khalayak. Artinya makna suatu jajak pendapat di suatu lingkungan negara sesungguhnya sangat ditentukan dengan keberadaan politisi dan profesional, baik yang berada dalam tubuh birokrasi publik maupun yang berada di luar. Sepanjang mereka memerlukan gambaran tentang sikap dan orientasi khalayak berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, atau sosial yang bersifat kontroversial, jajak pendapat merupakan jalan paling praktis. Kedua, mengingat pendapat khalayak pada dasarnya bertolak dari masalah yang bersifat kontroversial, maka masalah mendasar lagi adalah apakah situasi pro-kontra yang diekspos ini dapat ditoleransi di tengah masyarakat. Manakala tidak pernah dikenal pendapat khalayak yang dimanifeskan, masalah kontroversial dibiarkan laten, dan dengan rekayasa sosial masalah tadi diupayakan diselesaikan. Dengan cara ini proses mendeteksi masalah sosial dijalankan melalui saluran “undercover” oleh para polisi rahasia, seperti yang terjadi di negara fasis dan komunis. Karenanya keberadaan data pendapat khalayak
dianggap sama sekali tidak ada, atau kalau ada yang berusaha memanifeskannya, akan dianggap sebagai subversi. Inti permasalahan dapat dilihat lebih ke dalam lagi, adalah sejauh mana fakta sosial dianggap penting sehingga layak untuk diungkapkan secara terbuka dalam wujud informasi. Fakta sosial adalah dinamika yang berlangsung secara empiris dalam kehidupan, dan dinamika alam pikiran warga masyarakat. Secara sederhana kedua macam fakta ini biasa dipilahkan sebagai fakta sosiologis dan fakta psikologis. Proses dari fakta sosial menjadi informasi ini dikerjakan secara profesional oleh berbagai lembaga dengan kaidah kerja masing-masing. Lembaga survai baik perusahaan atau universitas memproses fakta sosial menjadi data penelitian, lembaga jurnalisme menyajikannya sebagai informasi pers, lembaga BAKIN menjadikannya sebagai informasi intelijen, dan seterusnya. Masing-masing data atau informasi ini dihasilkan dengan kaidah yang berlainan, dan untuk tujuan yang berbeda pula. Tetapi kesemuanya mengandung sifat yang sama, yaitu kesesuaian informasi dengan fakta. Inilah makna kebenaran yang menjadi dasar kerja dalam dunia akademik, jurnalisme ataupun intelijen, jika memang dijalankan secara profesional. Kesemua cara mendapat informasi ini berada pada dataran yang sama, dan hanya akan hidup di lingkungan yang memberi tempat kepada kebenaran faktual. Kebenaran faktual ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik mengenai warga masyarakat maupun penyelenggara kekuasaan negara. Mungkin saja kerja intelijen tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran faktual, sebab tugasnya adalah rekayasa penghancuran lawan melalui operasi psikologis (psychological warfare) atau dengan tindakan fisik menggebuk. Tetapi tugas imperatif lembaga survai sosial, jajak pendapat khalayak, begitu pula jurnalisme, bukan untuk tujuan berperang, atau tujuan pragmatis lainnya. Tugasnya hanyalah mendapatkan kebenaran faktual. Data atau informasinya bersifat terbuka, karenanya dapat digunakan oleh pihak manapun. Masalahnya, apakah kebenaran faktual memang diperlukan, atau sebaliknya mengapa kebenaran faktual tidak diinginkan termanifes dan terbuka? Jajak pendapat dan kerja pengungkapan informasi faktual lainnya pada dasarnya berhadapan dengan pertanyaan ini. Tekanan kekuasaan negara terhadap pelaksana jurnalisme berjalan secara langsung melalui lisensi terbit, skrining wartawan, serta pengendalian pemberitaan, atau secara tidak langsung melalui organisasi profesi yang menjadi bagian korporatis kekuasaan negara. Sementara tekanan terhadap dunia survai sosial mungkin akan mewujud melalui pengendalian perijinan, baik ijin penelitian maupun akreditasi peneliti, atau lainnya. Kegiatan jajak pendapat khalayak berada pada dua dunia: jurnalisme dan akademik. Tradisi jajak pendapat berkembang di lingkungan pers, untuk memformulasikan fakta- fakta selama proses pemilihan umum di Amerika Serikat. Untuk kebutuhan mendapatkan secara berkala dinamika masyarakat, maka pers melakukan jajak pendapat. Perkembangan metodologi maju pesat, terutama setelah tahun 1948 Social Science Research Council mendukung kajian untuk memperbaiki instrumen metodologi, sehingga semakin akurat data dan nilai prediksinya. Kalau di Indonesia kegiatan jajak pendapat yang diselenggarakan pers maupun lembaga jajak pendapat pada masa Orde Baru dihadang kendala, dapat dijelaskan melalui cara kekuasaan negara menghadapi kebenaran faktual. Media jurnalisme memang institusi yang sudah menjadi bulan-bulanan kekuasaan, sehingga apapun yang dilakukannya dalam mengangkat fakta sosial, akan selalu mendapat tekanan. Karenanya tidak heran manakala institusi pers direndahkan sedemikian rupa karena dianggap tidak mampu dan tidak layak melakukan jajak pendapat.
Sementara dalam menghadapi data jajak pendapat, kekuasaan akan menggunakan “bahasa” akademik. Kalau perlu dengan meminjam mulut akademisi, sebagaimana sering kekenesan dalam dunia akademik, cara meng-”condemn” suatu penelitian adalah dengan mempermasalahkan metodologi, mulai dari validitas instrumen (termasuk penentuan sampel dan uji statistik) sampai reliabilitas data. Padahal dengan metodologi yang diperkembangkan sejak tahun 1930-an hingga sekarang, pelaksana jajak pendapat sudah menggunakan pola instrumen yang standar. Karenanya keberatan yang bersifat kuasi akademik terhadap hasil jajak pendapat, dengan mudah dikenali sebagai dalih yang ingin mengabaikan fakta sosial yang berasal dari kehidupan masyarakat.
Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik
Sebelum melangkah jauh alangkah lebih baiknya kita mengetahui tentang apa saja yang termasuk kedalalam kebijakan public
1. Program Pembangunan Nasional (Propernas)
2. Program jangka panjang(PPJP)
3. UUD
4. UU
5. PP
6. Keputusan
Adapun proses pembentukan Kebijakan Publik adalah antara lain :
a. Palnning
Sebelum membuat sebuah kebijakan maka diadakan Planning (perencanaan) yang berawal dari opini Publik yang berkembang dengan langkah :
- Observasi
- Analisa (SWOT, Masalah, sosio)

b. Desicion
Tahap ketiga adalah desicion Policy dengan tahap-tahap sebagai berikut :
- Membuat Naskah Akademis
- Membuat Kebijakan
- Membuat naskah Pembanding
- Pengesahan (Legalisasi)
c. Implementation
Sebelum meimplementasikan dalam kehidupan bernegara maka ada langkah-langkah :
- Diseminasi (publikasi)
- Trial (mencoba)
- Yudicial Revews
- Implementasi
d. Evaluation
Evaluasi merupakan sebuah langkah terakhir yang dilakuakan dalam semua kegiatan dalam rangka melihat hasil dari apa yang telah dilaksanakan



REFERENSI


  1. 1. Hennesssy, Bernard, (1981) Public Opinion, fourth edition, terjemahan Nasution, Amiruddin (1989) Pendapat Umum, edisi keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta












  2. 2. Nickel, James W., (1987) Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terjemahan Arini, (1996) Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

  3. 3. Nimmo, Dan, (1989) Kommunikasi Politik: Khalayak dan Efek, terjemahan Surjaman, Remaja Karya CV, Bandung Zukin, Cliff, (1981) “Mass Communication and Public Opinion”, dalam Nimmo dan Sanders, ed., Handbook of Political Communication, Sage Publications, Beverly Hills

  4. 4. http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/pers-opini-publik-kebijakan.pdf

  5. 5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Layanan_publik.html

  6. 6. http://id.wikipedia.org/wiki/kebijakan-publik.html

  7. 7. http://irfanview.wordpress.com/ arti-penting-opini-publik.html




Rabu, 24 Desember 2008

Memahami Opini Publik dan Konsekuensinya

Oleh Assyari Abdullah
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Fak. Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA -RIAU


A. Pengertian Opini Publik

Opini publik atau public opinion biasa diterjemahkan dengan pendapat umum, berasal dari kata public yang artinya umum dan opinion yang artinya opini. Lalu bagaimana dengan public Relation yang biasa diartikan hubungan masyarakat padahal masyarakat dalam bahasa inggris adalah society? Itulah yang salah satu dampak dari opini publik.

Arti sebenarnya dalam bahasa Inggris baik dalam public opinion maupun public Relation sebenarnya sama, tapi dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang berbeda. Sama halnya dengan arti general opinion yang diartikan sebagai anggapan umum, general disini diartikan sebagai umum dan opinion sebagai anggapan.

Itulah yang sering terjadi di Indonesia, banyak hal-hal yang sebenarnya salah arti akan tetapi jika sudah diterima oleh masyarakat luas di Indonesia maka hal itu dapat tidak menjadi masalah. Tanpa harus di sahkan melalui jalur formal, hal ini sering terjadi di Indonesia.

Opini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Selalu dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan

2. Merupakan sinthesa atau kesatuan-kesatuan dari banyak pendapat

3. Mempunyai pendukung dalam jumlah yang besar

Opini dapat berdampak besar dan diyakin imasyarakat hingga melekat kuat dan berlangsung turun temurun seperti yang dibahas dalam makalah ini yaitu mitos, ideology dan utopia.

Adapun definisi dari Opini Publik itu antara lain :

1. Adinegoro

Beliau menyebutkan bahwa opini publik adalah ratu dunia. Hal itu benar karena opini publik dapat mendorong dukungan (social support). Beliau mendefinisikan opini publik dalampoin-poin sebagai berikut:

a. tidak ada organisasinya

b. tidak ada pemimpinnya

c. pendukung opini publik tidak saling mengenal atau anonym

d. tidak mengenal pembagian kerja

e. tidak dapat bergerak dengan cepat

f. dapat meledak / pecah dengan dipancing suatu peristiwa

Lalu kenapa opini publik diperhatikan terutama dalam pemerintahan :

a. opini publik itu tidak bertanggung jawab kepada masyarakat

b. opini publik meskipun berdasarkan suatu diskusi sosial akan tetapi tidak berdasar pada pemikiran yang cukup masak

c. Biasanya opini publik dalam melakukan tindakan secara spontan sehingga kurang berpikir jauh ke depan

2. Leonard W Doob

Dalam bukunya yang berjudul Public Opinion yang terbit tahun 1948 tertulis bahwa opini publik menyangkut sikap orang-orang mengenai sesuatu soal, di mana mereka merupakan anggota dari sebuah masyarakat yang sama.

Beliau juga menyebutkan bahwa yang membentuk opini publik itu adalah sikap pribadi seseorang ataupun sikap kelompoknya karena itu sikapnya ditentukan oleh pengalamannya, yaitu pengalaman dari dan dalam kelompoknya itu pula.

3. Ferdinand Tonnies

Beliau mengatakan ada tiga tahap opini publik dalam perkembangannya yaitu die luftartige, die flussige dan die feste.

Opini publik luftartig adalah opini publik laksana uap di mana tahap perkembangannya masih terombang-ambing mencari bentuk yang nyata. Opini publik Flussig mempunyai sifat-sifat seperti air, opini publik ini sudah mempunyai bentuk yang nyata akan tetapi masih dapat dialirkan menurut saluran yang kita kehendaki, sedangkan opini publik festig adalah opini publik yang sudah kuat, tidak mudah berubah.

Diatas adalah beberapa pengertian yang terkenal selain itu masih banyak lagi arti yang dikemukakan seperti dari Emil Dovifat dan Kruger Reckless dan masih banyak lagi.

B. Dampak Opini Publik

Opini Publik terjadi akibat persepsi-persepsi yang timbul dan kemudian berkembang. Karena opini public bukan organisasi dan tidak ada pemimpinnya maka opini public tidak bisa dikendalikan, pasti selalu ada pro dan kontra. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang kemudian menjadi dampak di masyarakat.

Dampak opini publik bisa positif bisa negatif bagi masyarakat. Dampak negatifnya adalah menyebarluasnya desas-desus akan sesuatu hal tanpa bukti akibat opini publik. Contohnya, supersemar yang sampai sekarang masih tidak jelas apakah benar-benar ada atau hanya rekayasa politik saja. Dampak positifnya seperti misalnya menyebarluasnya berita baik seeseorang akibat opini publik yang dapat meningkatkan prestise orang yang diberitakan.

Sebagian dari dampak opini publik yang banyak adalah terbentuknya mitos, ideologi dan utopia yang dibahas pada makalah ini. Opini masyarakat kebanyakan yang lama-lama seakan telah menempel pada kehidupan masyarakat dan bertahan lama hingga sekarang.

Mitos di Indonesia banyak yang menyuguhkan bukti yang dikait-kaitkan pada cerita. Misalnya, Gunung Tangkuban Perahu yang dianggap menjadi bukti dari cerita Sangkuriang.

Ideologi di Indonesia adalah pancasila yang dihasilkan dari pemikiran panjang setelah melihat dan mengenali keadaan bangsa.

Utopia adalah harapan-harapan yang indah-indah yang dianggap seperti surga bagi manusia. Penulis (kami) memperkirakan opini dan istilah ini muncul dari harapan-harapan masyarakat akan kedamaian di dunia yang hingga kini belum tercapai di dunia.

C. Mitos

Mitos (dari mythos) menurut pengertian Kamus Dewan, adalah "cerita (kisah) tentang dewa-dewa dan orang atau makhluk luar biasa zaman dahulu yang dianggap oleh setengah golongan masyarakat sebagai kisah benar dan merupakan kepercayaan berkenaan (kejadian dewa-dewa dan alam seluruhnya)."

Mitos juga merujuk kepada satu cerita dalam sesebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran mengenai sesuatu perkara yang pernah berlaku pada suatu masa dahulu. Ia dianggap sebagai satu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan sebagai rujukan.Ia selalunya satu dogma yang dianggap suci dan mempunyai konotasi upacara.

Contoh Mitos:

Pantai Parangtritis, Antara Keindahan Pantai dan Mitos Ratu Kidul

Di pesisir selatan Yogyakarta, terdapat sekitar 13 obyek pantai yang memiliki pesona wisata, ternyata Pantai Parangtritis yang selalu menempati peringkat teratas dalam angka kunjungan wisata, dibanding pantai-pantai lainnya. Pantai yang Berlokasi sekitar 27 Km dari kota Yogyakarta ini, dapat dicapai melalui desa Kretek atau rute yang lebih panjang, tetapi pemandangannya lebih indah yaitu melalui Imogiri dan desa Siluk.

Pantai yang termasuk wilayah Bantul ini merupakan pantai yang landai, dengan bukit berbatu, pesisir dan berpasir putih serta pemandangan bukit kapur di sebelah utara pantai. Di kawasan ini wisatawan dapat berkeliling pantai menggunakan bendi dan kuda yang disewakan dan dikemudikan oleh penduduk setempat. Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Kraton Yogyakarta.

Pada musim kemarau, angin bertiup kencang seperti tak mau kalah dengan deburan ombak yang rata-rata setinggi 2-3 meter. Sering terdengar kabar ada pengunjung pantai selatan hilang terseret gelombang. Anehnya, jenazah pengunjung yang nahas itu, menghilang bagaikan ditelan bumi. Tim SAR rata-rata baru bisa menemukan jenazahnya 2-3 hari kemudian setelah melakukan penyisiran. Biasanya, lokasi penemuan mayat tidak pada area di mana pengunjung tersebut tertelan ombak. Mayat ditemukan ratusan meter, bahkan kadang beberapa kilometer dari lokasi semula.

Di kalangan masyarakat setempat, kejadian misterius semacam itu, semakin menguatkan mitos bahwa penguasa laut yang lazim disebut Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan), suka "melenyapkan" orang yang tidak mengindahkan kaidah alam. Dari sisi ilmiah, kejadian semacam itu makin menguatkan teori bahwa palung laut selatan Jawa memang sarat arus bawah yang terus bergerak. Benda apa saja yang terseret ombak dari bibir pantai, terseret ke bawah dan terdampar pada lokasi berbeda.

Kepercayaan masyarakat setempat tentang legenda Nyi Roro Kidul juga dengan sendirinya melahirkan pesona tersendiri. Hampir setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, para pengunjung maupun nelayan setempat melakukan upacara ritual di pantai tersebut. Acara ritual diwarnai pelarungan sesajen dan kembang warna-warni ke laut. Puncak acara ritual biasanya terjadi pada malam 1 Suro, dan dua-tiga hari setelah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Intinya, nelayan meminta keselamatan dan kemurahan rezeki dari penguasa bumi dan langit.

D. Ideologi

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Katanya sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide." Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).

Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni:

  1. Ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan.
  2. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan.

Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham.

Definisi Ideologi

Definisi memang penting. Itu sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar “ Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep”. Karena itu menurut beliau, sama pentingnya dengan silogisme (baca : logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.

Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang )[dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry al-Mabda’]. Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’ adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]

Selain definisi di atas, berikut ada beberapa definisi lain tentang ideologi :

  1. Wikipedia Indonesia : Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
  2. Destertt de Tracy : Ideologi adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu.
  3. Descartes : Ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia.
  4. Machiavelli : Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
  5. Thomas H : Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.
  6. Bacon : Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup.
  7. Karl Marx : Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
  8. Napoleon : Ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.
  9. Muhammad Muhammad Ismail : Ideologi (Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan setelahnya?

Dr. Hafidh Shaleh : Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Taqiyuddin An-Nabhani : Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia ini.

Referensi

  1. S.Sunarjo, Djoenasih Dra, Opini Publik, Liberty, Yogyakarta, 1997.
  2. http://factintheworld.blogspot.com/2007/11/opini-publik.html
  3. http://irfanview.wordpress.com/ Arti Penting Opini Publik
  4. http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kesempurnaan&action=edit

Selasa, 24 Juni 2008

AJAKAN KEPADA KEBAIKAN



A. Ajakan Amar Ma’ruf Nahi Mugkar
a. Amar Ma’ruf dan nahi Munkar dalam sebuah definisi

Dalam situs wikipedia.org dijelaskan bahwa Amar ma'ruf nahi munkar, (al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar) adalah sebuah frase dalam bahasa Arab yang maksudnya sebuah intensi untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Untuk menghindari perbedaan penafsiran tentang amar ma'ruf dan nahy munkar, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian amar ma'ruf dan nahy munkar.

1. Pengertian amar ma'ruf

Dr. Sayyid Muhammad Nuh menjelaskan dalam bukunya Taujihat Nabawiyyah 'Ala al-Thariq bahwa al-ma'ruf adalah nama yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah, baik perkataan, maupun perbuatan lahir dan batin. Jadi al-ma'ruf mencakup keyakinan, yaitu iman kepada Allah, malaikatNya, kitabNya, RasulNya, hari akhir dan qadar (takdir). Juga mencakup ibadah, yaitu shalat, zakat, shaum, haji, jihad, nikah dan thalaq, menyusui anak, pemeliharaan anak, nafkah, iddah dan semacamnya. Mencakup juga hukum danperundang-undangan seperti mu'amalah maliyyah (transaksi harta), hudud (hukuman-hukuman), qishash, transaksi-transaksi, perjanjian-perjanjian dan semacamnya. Mencakup juga akhlaq, seperti shidiq (jujur), 'adil, amanah, 'iffah (menjaga diri dari yang haram), setia janji dan semacamnya.

Semuanya itu dikatakan ma'ruf ( yang menurut bahasa berarti dikenal) karena fitrah yang bersih dan akal yang sehat mengenalnya dan menyaksikan kebaiakannya. Jadi pengertian amar ma'ruf ( menyuruh kepada yang ma'ruf ) adalah mengajak dan memberikan dorongan kepada orang untuk melaksanakannya, menyiapkan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk mengokohkan pilar-pilarnya serta menjadikannya sebagai ciri umum bagi seluruh kehidupan.

2. Pengertian nahy munkar

Al-Munkar (kemungkaran) adalah nama yang mencakup semua yang dibenci dan tidak diridhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin. Jadi munkar (kemungkaran) mencakup kemusyrikan dengan segala bentuknya, mencakup segala penyakit hati seperti riya', hiqd (dengki), hasad (iri), permusuhan, kebencian dan semacamnya. Mencakup juga penyia-nyiaan ibadah seperti shalat, zakat, shaum, haji dan semacamnya. Mencakup juga perbuatan-perbuatan keji seperti zina, mencuri, minum khamar (minuman keras), menuduh berzina, merampok, berbuat aniaya dan semacamnya. Juga mencakup dusta, zalim, khiyanat, perbuatan hina, pengecut dan semacamnya

Kemungkaran dikatakan munkar karena fitrah yang bersih dan akal yang sehat mengingkari adan menyaksikan kejahatan, kerusakan dan bahaya yang ditimbulkannya. Jadi pengertian nahy munkar ( mencegah dari yang munkar ) adalah memperingatkan, menjauhkan dan menghalangi orang dari melakukannya, memutuskan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk membasminya sampai ke akar-akarnya serta membersihkan kehidupan dari segala bentuk kemungkaran.

b. Amar ma’ruf nahi munkar
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:

“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Maa’idah: 105)
Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah)
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.”
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4)
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya.
B. Urgensi dan strategi Amar Ma’ruf nahi Munkar
Dalam Al-Qur'an dijumpai lafadz "amar ma'ruf nahi munkar" pada beberapa tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran: 104: "Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung". Hasbi Ash Siddieqy menafsirkan ayat ini: "Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyelesaikan urusan dawah, menyuruh ma'ruf (segala yang dipandang baik oleh syara` dan akal) dan mencegah yang munkar (segala yang dipandang tidak baik oleh syara` dan akal) mereka itulah orang yang beruntung."
Dalam ayat lain disebutkan "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah" (QS. Ali Imran: 110). Lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar tersebut juga bisa ditemukan dalam QS. At Taubah: 71, Al Hajj: 41, Al-A'raf: 165, Al Maidah: 78-79 serta masih banyak lagi dalam surat yang lain.
Bila dicermati, ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma'ruf nahi munkar merupakan perkara yang benar-benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan masyarakat. Secara global ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan hukum, partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang sevisi. Anjuran tersebut juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah: "Jika kamu melihat umatku takut berkata kepada orang dzhalim, 'Hai dzhalim!', maka ucapkan selamat tinggal untuknya."
Dari ayat-ayat di muka dapat ditangkap bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh Allah dalam menilai kualitas suatu umat. Ketika mengangkat kualitas derajat suatu kaum ke dalam tingkatan yang tertinggi Allah berfirman: "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia." Kemudian Allah menjelaskan alasan kebaikan itu pada kelanjutan ayat: "Menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar." (QS. Ali Imran: 110). Demikian juga dalam mengklasifikasikan suatu umat ke dalam derajat yang serendah-rendahnya, Allah menggunakan eksistensi amar ma'ruf nahi munkar sebagai parameter utama. Allah Swt. berfirman: "Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Isra'il melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat." (QS. Al Maidah 78-79). Dari sinipun sebenarnya sudah bisa dipahami sejauh mana tingkat urgensitas amar ma'ruf nahi munkar.
Bila kandungan ayat-ayat amar ma'ruf nahi munkar dicermati, -terutama ayat 104 dari QS. Ali Imran- dapat diketahui bahwa lafadz amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan dari lafadz iman, padahal iman adalah sumber dari segala rupa taat. Hal ini dikarenakan amar ma'ruf nahi munkar adalah bentengnya iman, dan hanya dengannya iman akan terpelihara. Di samping itu, keimanan adalah perbuatan individual yang akibat langsungnya hanya kembali kepada diri si pelaku, sedangkan amar ma'ruf nahi munkar adalah perbuatan yang berdimensi sosial yang dampaknya akan mengenai seluruh masyarakat dan juga merupakan hak bagi seluruh masyarakat.
Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma'ruf adalah mentauhidkan Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma'ruf nahi munkar ini pada dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa umumnya disebut dengan public opinion, sebab al ma'ruf adalah apa-apa yang disukai dan diingini oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala apa yang tidak diingini oleh khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar ma'ruf telah memberikan kesempatan bagi timbulnya opini yang salah, sehingga yang ma'ruf terlihat sebagai kemunkaran dan yang munkar tampak sebagai hal yang ma'ruf.
Konsisnten dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan, sebab jika ditinggalkan oleh semua individu dalam sebuah masyarakat akan berakibat fatal yang ujung-ujungnya berakhir dengan hancurnya sistem dan tatanan masyarakat itu sendiri. Harus disadari bahwa masyarakat itu layaknya sebuah bangunan. Jika ada gangguan yang muncul di salah satu bagian, amar ma'ruf nahi munkar harus senantiasa diterapkan sebagai tindakan preventif melawan kerusakan. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. memberikan tamsil: "Permisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan yang melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara mereka ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak mengambil air harus melawati orang-orang yang ada di atas meraka. Akhirnya mereka berkata 'Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita'. Jika orang yang di atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua akan binasa. Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuannya akan selamat."
Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang antara lain berupa:
1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.: "Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS. Al-Maidah: 78-79).
Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun khutbah-khutbah, sebab semua. Muslim tentunya tidak ingin bila hanya termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.
Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan dan kekurangan yang dimiliki.
Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.
Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk masyarakat:
1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-erta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.


DAFTAR KEPUSTAKAAN



1. Alqur’an Alkarim
2. http://muslim.or.id/manhaj-salaf/amar-maruf-nahi-mungkar-1.html
3. http://muslim.or.id/manhaj-salaf/amar-maruf-nahi-mungkar-2.html
4. http://muslim.or.id/manhaj-salaf/amar-maruf-nahi-mungkar-3.html
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Amar_ma%27ruf_nahi_munkar
6. https://www.aldakwah.org/mutiara/archives/6-Bila-Amar-Maruf-Nahi-Munkar-Diabaikan.html
7. http//www.uii.ac.id/beranda/ Urgensi dan Strategi Amar ma'ruf Nahi munkar.html
8. http://muslim.or.id/manhaj-salaf/kewajiban-mengubah-kemungkaran.html


























Senin, 12 Mei 2008

Teori Komunikasi Klasik: Teori Informasi




Teori Komunikasi Klasik: Teori Informasi


Studi komunikasi dewasa ini telah banyak melahirkan berbagai macam teori yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Ada banyak teori tentang komunikasi. Berdasarkan kurun waktu dan pemahaman atas makna komunikasi, teori komunikasi semakin hari berkembang seiring berkembangnya teknologi informasi yang memakai komunikasi sebagai fokus kajiannya.
Teori komunikasi kontemporer yang merupakan perkembangan dari teori komunikasi klasik melihat fenomena komunikasi tidak fragmatis. Artinya, komunikasi dipandang sebagai sesuatu yang kompleks-tidak sesederhana yang dipahami dalam teori komunikasi klasik.
Pendekatan dalam memahami komunikasi pun tidak hanya mengacu pada teori semata, tetapi juga memperhitungkan mazhab dan model apa yang dipakai. Mazhab yang dipakai antara lain mazhab proses dan semiotika. Namun, dalam paper ini saya tidak membahas teori kontemporer yang dianggap ‘pahlwan revolusioner’, tetapi saya mengajak anda untuk mengkaji lebih detail tentang salah satu teori komunikasi klasik yang dicetuskan oleh Shannon dan Weaver, yaitu teori matematis atau teori informasi yang berkembang setelah perang dunia II . Teori yang termasuk ke dalam tradisi sibernetik ini mengkaji bagaimana mengirim sejumlah informasi yang maksimum melalui saluran yang ada.
Tentunya teori ini memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya. Apakah teori ini masih relevan atau justru sudah tidak dapat disentuh sama sekali. Namun, kita tidak bisa menafikkan kontribusi Shannon dan Weaver dalam memberikan inspirasi ahli-ahli komunikasi berikutnya yang terus mengembangkan teorinya seperti Gerbner, Newcomb, Westley dan MacLean, dan lain-lain.

Teori Informasi atau Matematis

1. Konteks Sejarah

Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 b), Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses. Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahap-tahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.
Karya Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan gelombang radio.
Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi.

Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi

Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.

Sinyal Sinyal yang diterima
(Model Komunikasi Shannon dan Weaver)

Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas. Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan tingkat kecermatannya.
Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada banyaknya stimulus atau sinyal.
Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat sebab akibat (kausatif). Di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi yang timbul dalam proses komunikasi.

Entropi

Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information). Sebagai contoh ada pada penderita penyakit Aids. Pengidap Aids atau yang lebih sering disebut OHIDA tidak dapat dipastikan usianya atau kapan ia akan dijemput maut. Ada yang sampai delapan tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai dua puluh tahun, masih bisa menjalani hidup sebagaimana orang yang sehat. Hal ini dikarenakan ajal atau kematian adalah sebuah sistem organisasi yang kemungkinannya sangat tidak dapat dipastikan.
Dengan kata lain, semakin besar entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya (prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan-highly predictable, maka informasi tidak ada sama sekali. Kondisi inilah yang disebut dengan negentropy.

Redundansi

Konsep kedua yang merupakan kebalikan dari entropi adalah redundansi. Redudansi adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low information). Fungsi dari redundan dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada dua, yaitu yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.
Fungsi redundansi apabila dikaitkan dengan masalah teknis, ia dapat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak.
Kekurangan-kekurangan dari saluran (channel) yang mengalami gangguan (noisy channel) juga dapat diatasi oleh bantuan redundansi. Misalnya ketika kita berkomunikasi melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya. Contoh lain, apabila kita ingin mengiklankan produk kita kepada masyarakat konsumen baik melalui media cetak (koran, majalah, atau tabloid) ataupun elektronik (radio dan televisi), maka redundansi berperan pada penciptaan pesan (iklan) yang dapat menarik perhatian, sangat simpel, sederhana, berulang-ulang dan mudah untuk diprediksikan (predictable).
Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara yang sekreatif mungkin.
Fungsi kreatif redundansi ini juga bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat membantu sekali pada masalah jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis, dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.
Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya beberapa golongan elit saja.
Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat.

Redundansi dan Konvensi
Konvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun. Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua baris pertama. Contoh:

Jalan-jalan ke sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Kucing mendengar habis bertengkar

Pada contoh pantun di atas, kita setidaknya dapat meramalkan bahwa baris ketiga dan keempat pasti memiliki bunyi yang sama dengan baris pertama dan kedua, walaupun kita belum mengetahui isi dan maknanya. Hal ini dikarenakan pantun menekankan pengulangan dan pola-pola yang bisa diramalkan. Sehingga ini bisa meningkatkan redundansi dan menurunkan entropi.
Ketika berbicara masalah entropi dan redundansi pada masalah karya seni , kita mengetahui bahwa karya seni bukan merupakan hal yang statis dan kaku. Ia akan terus berubah dan bersifat dinamis seiring perkembangan nilai dan corak hidup masyarakat. Karya seni ada kalanya akan bersifat ‘nakal’ atau ‘nyeleneh’ dan melanggar konvensi-konvensi yang ada, sehingga menjadi entropik bagi khalayak yang ada di dekatnya. Namun, ia juga akan berusaha mengikis imej itu secara perlahan dengan membangun sendiri konvensi-konvensi baru yang awalnya hanya ada pada khalayak yang jumlahnya terbatas. Maka dengan sendirinya karya seni tadi akan diterima dan dipelajari secara luas, sehingga dapat meningkatkan redundansinya. Sebagai contoh, seni lukis tubuh (body paint) yang dahulu dianggap tabu sekarang dianggap sebagai hal yang biasa dan mempunyai nilai seni.

Teori informasi yang dikemukakan Shannon dan Weaver ini banyak menuai kritik . Salah satunya adalah ia tidak mnjelaskan konsep umpan balik (feedback) dalam model teorinya. Padahal dalam konsep analogi pesawat telepon yang ia kemukakan, konsep umpan balik sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan komunikasi. Hal ini dikarenakan teori yang ia kaji hanya melihat komunikasi sebagai fenomena linear satu arah.
Teori informasi (matematis) yang ia kaji hanya melihat komunikasi dari faktor komunikator yang dominan. Padahal penerima sebagai komunikan pun adalah bagian dari proses komunikasi yang akan terlibat jika konsep umpan balik ia masukkan. Selain itu umpan balik juga justru bisa memberitahukan kegagalan dalam komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang menelpon dan yang ditelepon tidak melakukan reaksi apapun, atau mungkin sinyal di udara lemah, maka reaksi diam penerima sebenarnya adalah umpan balik bagi sumber atau penelpon.
Selain konsep umpan balik yang tidak diusung dalam teori informasi, sebenarnya, Shannon dan weaver juga tidak mengkaji detil tentang peranan medium (media) dalam teorinya. Ia hanya terfokus pada fungsi saluran atau transmitter. Padahal konsep medium tidak dapat dipisahkan dari konsep transmisi yang ia usung sebelumnya.
Secara garis besar, jika dibandingkan dengan teori kontemporer, misalnya, interaksionisme simbolik, model teori Shannon dan Weaver ini terlalu sederhana. Padahal komunikasi terdiri dari banyak aspek seperti yang dikatakan Schramm sebagai area studi Multidisipliner. Ia akan selalu berkaitan dengan ilmu sosial, psikologi, kejiwaan, teknologi, bahkan perang. []

Daftar Pustaka

Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Effendy, Onong Uchjana. (1992). Spektrum Komunikasi. Bandung: Penerbit Mandar Maju

Fiske, John. (1999). Introduction To Communication Studies. 2nd Edition. London: Guernsey Press Co Ltd

Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group

Miller, Katherine. (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. USA: McGraw Hill

Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Susanto, Astrid. S. (1977). Komunikasi Kontemporer. Jakarta: Penerbit Binacipta
Diambil Dari :
http://defickry.wordpress.com/2007/08/09/teori-komunikasi-klasik-teori-informasi/

Sabtu, 10 Mei 2008

PEMBERDAYAAN OPINI PUBLIK DAN PEMBANGUNAN CITRA POLITIK DALAM KOMUNIKASI POLITIK

PEMBERDAYAAN OPINI PUBLIK DAN PEMBANGUNAN CITRA POLITIK DALAM KOMUNIKASI POLITIK

Oleh : Assyari Abdullah

(Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Dan Ilmu Kominikasi UIN Suska Riau)

A. OPINI PUBLIK : Sumber Kebijakan Politik

Opini Publik dalam sebuah definisi

Berawal dari sebuah pertanyaan apa sebetul nya yang dikatakan dengan Opini Publik (OP) ? , sederhananya kita maknai dari pendapat-pendapat masyarakat. Dalam pendapat itu terdapat elemen kebetuhan, harapan, kritik saran serta sikap-sikap warga masyarakat. Dari OP itulah kita biusa memulai mengelola kekuatan politik secara riil.[1]

Dalam wikipedia.org dijelaskan bahwa, Opini publik adalah unsur-unsur dari pandangan, perspektif dan tanggapan masyarakat mengenai suatu kejadian, keadaan, dan desas-desus tentang peristiwa-peristiwa tertentu[2]

Sumber Kibijakan Publik

Dalam menganalisis sebuah kebijakan public kita harus bisa mengkorelasikan dengan fenomena yang lagi hangat dan actual.ada sebuah fenomena politik yang sangat menarik untuk kita kaji yaitu masalah pilkada dan pilpres. Sekalipun jadwal resmi kampanye Pemilu 2009 masih jauh dari waktu, tetapi telah banyak langkah yang dilakukan oleh partai politik atau pribadi, untuk menggapai puncak kekuasaan. Indikasi ini setidaknya tampak dari maraknya pesan spanduk-spanduk berlabel parpol pada setiap peristiwa penting dalam masyarakat. Tak hanya itu, di kawasan bencana pun, kita bisa menyaksikan posko-posko bantuan dengan bendera parpol berjajar-jajar. Begitu pula, pada beberapa media lokal, kita menyaksikan beberapa tokoh tampil dengan ucapan selamat atas perayaan hari tertentu. Dengan kemasan ucapan hari besar tertentu, para tokoh tersebut menyampaikan pesan-pesan moral dan juga ajakan berbuat baik.

Apa yang dilakukan parpol dan tokoh politik di media tersebut, tidak lepas dari upaya untuk merebut simpati publik. Tindakan tersebut sesungguhnya sudah masuk ranah komunikasi politik, sekalipun dengan kemasan pesan yang bermuatan sosial. Terlepas apakah tindakan beriklan lewat media massa itu melanggar atau tidak terhadap aturan kampaye; fenomena tersebut menunjukkan “kesadaran” partai politik dan politikus akan pentingnya pembentukan “citra di mata public”. Dan saat ini, media massa memang masih diyakini memiliki kekuatan besar (magnitude) yang dapat menarik perhatian publik, sehingga menjadi “ajang” untuk mempengaruhi pendapat publik. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah kita perlu berhati-hati menggunakan media massa. Karena jika tidak mampu mengelola pesan politik, malah-malah akan memunculan opini publik yang berbeda dari yang kita duga.

Di tengah publik yang kecewa terhadap ikhwal politik, rasanya memang cukup berat bagi partai politik untuk memperoleh dukungan dari publik. Padahal, dukungan publik merupakan sesuatu yang esensi dan penting artinya bagi keberadaan partai politik tersebut. Kritisi yang perlu disampaikan kepada partai politik selama ini adalah tiadanya kesungguhan dalam mengelola opini publik. Sesungguhnya dengan mengelola opini itu secara bagus, parpol akan mampu meraup dukungan yang signifikan.

Opini Publik (OP), sederhananya kita maknai dari pendapat-pendapat masyarakat sebagai mana yang kita bahas diatas . Dalam pendapat itu terdapat elemen kebetuhan, harapan, kritik saran serta sikap-sikap warga masyarakat. Dari Opini Publik itulah kita bisa memulai mengelola kekuatan politik secara riil.

Mungkin kita mengira Opini Publik hanyalah sekedar pembicaraan belaka. Bisa saja demikian, tetapi perlu dicatat adalah siapapun yang bicara dia juga punya kapasitas (sekecil apapun) untuk mengisi dan mungkin mempengaruhi ruang wacana publik Dengan berasumsi bahwa setiap warga memiliki hak suara sama dalam proses pemilihan misalnya, maka seharusnya pula parpol memperlakukan suara mereka secara bijak. Apapun suara yang muncul

Opini Publik akan berkait erat dengan masalah pencitraan. Nah disinilah kita menyaksikan bagaimana parpol acapkali tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Opini Publik dan citra ini. Dalam konteks pencarian dukungan publik, citra baik saja ternyata juga tidak cukup sebagai andalan peraupan suara publik. Maka itulah ada proses-proses komunikasi politik yang mesti dilakukan secara kontinyu dan terukur.

Menyangkut ikhwal opini publik, kami sebagai pemakalah menawarkan beberapa catatan singkat berikut ini[3]:

1. Opini Publik adalah dasar awal bagi parpol untuk melangkah. Dari suara publik itulah parpol dapat menganalisis, dan merumuskan kebijakan yang diambil dan bagaimana cara menerapkan kebijakan tersebut.

2. Base on research. Selama ini, perlakukan OP masih belum dianggap sesuatu yang esensi. Jarang sekali parpol melakukan survey OP secara intensif. Riset idealnya menjadi kunci awal bagi parpol membuat rumusan kebijakan.

3. Melalaui metode tracking, riset Opini Publik bisa menangkap pendapat dan keinginan warga masyarakat. Ada beberapa ragam riset yang lazim dilakukan untuk proses pemilihan (legislatif atau eksekutif) , seperti: (a). riset popularitas parpol/ tokoh; (b). jaring aspirasi dan ekspektasi; (c). observasi basis massa (kuantilatif), (d). polling (untuk melihat fluktuasi sikap); (e) perolehan suara dengan melalui quick count (setelah memilih)

4. Riset yang saat ini perlu dikembangkan (seingat saya masih sangat jarang atau langka di Indonesia), adalah riset khusus tentang Pengaruh Reference Group terhadap masyarakat (tokoh, organisasi). Ini penting untuk mencari potential people atau group yang punya kapasitas menelorkan wacana opini publik.

5. Untuk kota besar, karena hubungan antara warganya sudah makin impersosnal, maka tracking oponi media perlu dilakukan. Betatapun media (mainstream) sangat cukup kuat dalam menentukan arah opini publik.

B. PEMBANGUNAN CITRA POLITIK

Komunikasi Politik

Komunikasi politik di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia biasanya menggunakan dua sistem komunikasi dominan, yaitu media massa modern dan sistem komunikasi tradisional (Schramm 1964). Untuk mempengaruhi masyarakat, maka sangat perlu untuk memilih sarana komunikasi yang tepat, sesuai dengan keperluan dan kepada siapa pesan politik ingin disampaikan.

Untuk masyarakat perkotaan kelas menengah, komunikasi politik melalui media massa sangat efektif karena pola hidup mereka yang sibuk tidak memberi mereka peluang untuk melakukan komunikasi langsung dengan orang lain. Apalagi kalau mereka tidak punya kepentingan langsung dengan sang komunikator. Bagi mereka, media massa cetak dan elektronik merupakan sarana paling efektif untuk mengetahui dan menyampaikan umpan balik setiap pesan politik yang ada.

Sementara untuk masyarakat pedesaan, apalagi masyarakat pedalaman yang secara literal tidak memiliki tradisi baca, pesan politik hanya bisa disampaikan oleh sistem komunikasi tradisional. Dalam konteks ini, seperti diungkap oleh Astrid Susanto (1978), komunikasi yang paling efektif adalah dengan menggunakan sistem komunikasi lokal yang sesuai dengan budaya mereka. Pendekatan-pendekatan interpersonal dengan tokoh-tokoh kampung menjadi pengatur lalu lintas opini menjadi kunci keberhasilan dalam sistem komunikasi tradisional ini.

Oleh sebab itu, tidak heran bila banyak pasangan kandidat dan tim sukses melakukan berbagai pendekatan dan strategi untuk mempengaruhi opini sang tokoh, dengan harapan tokoh tersebut akan menggunakan pengaruhnya untuk memilih sang kandidat. Pola-pola ini merupakan pola-pola umum yang digunakan hampir oleh semua kandidat dalam bursa politik di Indonesia.

Penggunaan media massa untuk kepentingan kampanye bisa dikatakan masih sangat terbatas. Hanya beberapa kandidat yang mengiklankan dirinya di tabloid, internet dan koran lokal di Indonesia. Selebihnya mereka lebih memilih untuk mengkampanyekan dirinya melalui kalender, stiker, dan spanduk yang biayanya jauh lebih murah dan bertahan lama.

Tidak dipilihnya media massa sebagai kampanye terbuka sangat terkait dengan[4];

1. Belum dimulainya putaran kampanye resmi, atau

2. karena kampanye melalui media massa di samping mahal, juga memiliki daya tahan yang terbatas. Namun, boleh jadi penggunaan media massa akan dipacu menjelang hari H pemilihan, karena jarak jangkau media massa yang luas, apalagi media massa cetak dengan oplah besar diharapkan bisa mempengaruhi sikap akhir pemilih.

Menurut Suwardi (2004), sebagai agen politik, media massa bisa melakukan proses pengemasan pesan (framing of political messages) dan proses inilah yang sebenarnya membuat sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu. Pencitraan politik seringkali sangat efektif untuk menaikkan pamor atau menghancurkan pamor aktor politik. Namun masalahnya, media yang menjadi agen politik harus meninggalkan objektivitasnya dan memanipulasi fakta sebagai alat untuk kepentingan politik.

Sejauh ini, pola komunikasi tradisional masih menjadi pilihan strategi dominan oleh para kandidat dan tim sukses. Kiyai dan ulama merupakan sasaran kampanye paling strategis, sehingga hampir setiap saat kiyai dikunjungi oleh para kandidat. Bahkan kadang-kadang jadwalnya bertabrakan dengan jadwal kandidat lain. Keyakinan para kandidat dan tim sukses terhadap pengaruh ulama menjadi penyebab kenapa dipilih sebagai arena kampanye. Sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat, masih dipandang penting dalam sistem kepercayaan masyarakat termasuk dalam persoalan politik. Namun, karena hal itu, tak urung ulama dikritik menjadi arena politik praktis.

Menjadikan kiyai dan ulama sebagai jalan menuju kursi kekuasaan politik tidak sepenuhnya salah. Sah-sah saja setiap orang atau lembaga menggunakan haknya untuk berpolitik. Namun yang disayangkan adalah apabila kiyai dan ulama dimanipulasi untuk keperluan politik praktis jangka pendek yang bisa mengorbankan citra kiyai dan ulama secara mayoritas. Karena politik tidak jauh dari praktik “siapa menguasai siapa, dan siapa memanfaatkan siapa”.

Selain kiyai dan ulama, para kandidat juga berupaya memperoleh dukungan dari militer .Lembaga ini memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat baik secara sukarela maupun karena takut. Pendekatan-pendekatan personal dilakukan kepada pejabat, Ini sudah menjadi rahasia umum.

Strategi Politik

Dalam bukunya Strategi Politik (2003) Peter Schoder mengatakan bahwa “kita tidak mungkin disukai oleh semua orang”. Kampanye politik bukanlah situasi perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide politik yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kelompok akan memecah masyarakat pada saat ide itu diumumkan”.

Politik memang bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun politik. Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih supaya menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali kampanye politik diisi oleh penyerangan terhadap pribadi-pribadi kandidat dan pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala dimensi.

Black campaign (kampanye negatif) merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam konteks Indonesia yang memiliki kultur Ketimuran yang kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih belum bisa diterima secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus yang merugikan publik secara luas, seperti kasus korupsi.

Kasus-kasus kerusuhan paska pilkada di berbagai daerah di Indonesia di era reformasi merupakan fakta bahwa politik bisa bertransformasi menjadi perang ketika benturan ide dan kepentingan politik diserahkan kepada massa yang anarkis. Pemanfaatan berbagai sumber daya politik yang mengabaikan aturan politik menjadi asal mula berubahnya politik menjadi perang.

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005 menunjukkan bahwa tiga faktor yang menyebabkan konflik antar elit politik, yang kadang bisa berubah menjadi konflik fisik antar massa pendukung. Faktor itu meliputi[5],

1. Pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan politik serta sumber daya politik yang terbatas,

2. Pergeseran patronase politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya persaingan politik antar elit lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan, dan

3. Transisi politik dan intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan elit menjadi pertarungan terbuka.

Beberapa peristiwa politik di Indonesia paska pergantian penjabat bupati/walikota, menunjukkan bahwa konflik antar elit benar-benar terjadi. Dalam kasus pergantian pejabat dan kepala dinas, sangat terasa disebabkan oleh terjadinya pergeseran patronase politik. Pejabat-pejabat lama yang dianggap menjadi kubu kandidat lain dengan segera diganti setelah penjabat baru dilantik. Pergeseran patronase politik ini juga menjadi ajang balas dendam untuk membabat kubu politik lawan.

Untuk mengatur supaya kampanye politik dan perebutan kekuasaan politik di Aceh tidak menjadi ajang konflik yang merusak perdamaian, maka diperlukan sebuah kesadaran dari semua kandidat dan tim sukses untuk merancang skenario politik yang matang dan damai supaya transfer kekuasaan di masa damai ini bisa berlangsung secara adil, damai, jujur dan demokratis.

Konon, pertarungan wacana komunik

C. MEDIA DAN POLITIK PENCITRAAN

Politik sering menempatkan media sebagai medan perang sekaligus panglima. Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah menjadi entitas yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur ulang dan dimaknai kembali. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan hal yang sama dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah pilkada langsung, hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi ruang dan waktu untuk mengulas pilkada langsung.

Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi citra politik justru dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar atau tidak merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak disengaja telah melahirkan keberpihakan media.

Menurut John Hartley dalam bukunya “Understanding News”, narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau karangan fiksi yang memunculkan sosok pahlawan dan penjahat. Media juga selalu punya kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi untuk saling dipertentangkan sebagai akibat pemahaman yang serampangan tentang cover bothside.

Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang ekspresi yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang digelar oleh elite politik dalam suksesi pilkada pada Juni 2005 nanti. Teknik “pemasaran politik” dengan mengemas “citra” tentang sosok calon kepala daerah dalam praktek politik citraan (politics of image), menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik.

Jika kita menggunakan paradigma Peter D. Moss (1999), akan terlihat bagaimana wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya, surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang relevan dan tidak (Eriyanto, analisis Framing: X).

Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat. Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan image politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-nya. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji politiknya. Dalam pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image. Namun dalam teori Marxis dikatakan bahwa orang seringkali terjebak dengan citra, karena memilih dengan kesadaran palsu, membeli citraan yang palsu. Ketika dia sudah membeli baru ketahuan banyak hal yang buruk.

Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan mengkonstruksi semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya kebenaran dimanipulasi. Dalam bukunya simulation, Jean Baudrillard mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan.

Citra politik dan simulakra politik akan menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai kekuatan politik

Dalam simulakra politik, segala potensi tanda, citra, dan tontonan; segala kekuatan bahasa (language power); kekuatan simbol (symbolic power) dikerahkan dalam rangka membangun citra, membentuk opini publik, mengubah persepsi, mengendalikan kesadaran massa (mass consciousness), dan mengarahkan preferensi politik meski semuanya tak lebih dari iring-iringan simulakra belaka.

Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan realitas atau hanya mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan ideologi. Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau permirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu Hamad: 2-3).

Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput dari keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah. Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- Abdurrachman, Oemi.Dasar-Dasar Public Relation.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.2001

- Nimo, Dan. Komunikasi Politik. Bandung. PT. Rosda Karya. 1999

- Sanit, Arbit. Sistim Politik Indonesia. Jakarta : Raja Wali Pers.1990

- Muhaimin, Yahya.Dkk. Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gaja Mada University Press.1991

- Gani, soelistyati Ismail. Pengantar Ilmu Politik .Jakarta Timur : Ghalia Indonesia. 1084

- Marbun, B.N. Kamus Poitik. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. 2005

- http://daunbidara.blogs.friendster.com/rumahkaca/2007/06/media_dan_polit.html

- http://www.acehinstitute.org/front_index.htm

- http://sangsuko.wordpress.com/2008/01/24/opini-publik-sumber-kebijakan-politik/

- http://id.wikipedia.org/wiki/Opini_publik



[1] http://sangsuko.wordpress.com/2008/01/24/opini-publik-sumber-kebijakan-politik/

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Opini_publik

[3] Ibid

[4] http://www.acehinstitute.org/front_index.htm

[5] http://daunbidara.blogs.friendster.com/rumahkaca/2007/06/media_dan_polit.html